Nama : Septiaji Fajar Rianto
Kelas : 3SA04
NPM : 16611682
Title : Implementation of Quality Education
Source : http://sciencebenefits.blogspot.com/2011/12/masalah-pendidikan-di-indonesia.html
Retrieved
on April 9th, 2014
Source
Language Text
Target
Language Text
Implementation
of Quality Education
Penerapan
Pendidikan yang Berkualitas
These
words often appear to justify the high costs of attending any public education
bench.
Pernyataan
ini seringkali muncul menjelaskan tentang tingginya biaya bangku
pendidikan di masyarakat.
The
high costs of education from kindergarten to higher
education make the poor have no choice but do not attend school.
Tingginya
biaya pendidikan mulai dari jenjang TK sampai ke sekolah lanjutan,
membuat rakyat yang kurang mampu sulit untuk bersekolah.
Poor
people should not be school.
Sehingga
mereka memang lebih memilih untuk tidak bersekolah.
To
entering kindergarten and elementary school alone now will
cost Rp.500.000,- to Rp. 1.000.000,-.
Biaya
yang di butuhkan untuk masuk TK dan sekolah dasar berkisar
Rp.500.000,- sampai Rp.1.000.000,-.
There’s
even picked up over $1 million.
Sehingga
keuntungan yang bisa diraih hingga mencapai kurang lebih 1 juta dolar.
Sign
junior/senior
high school could reach USD 1 million to 5 million.
Untuk
keuntungan di tingkat SMP dan SMA bahkan hingga
mencapai 1 juta sampai 5 juta USD.
The
more expensive cost of education today cannot be separated from government
policies that implement Management Based School (MBS).
Mahalnya
biaya pendidikan saat ini tidak dapat dilepaskan dari rancangan pemerintah
membentuk sistem Management Based School (suatu badan yang di sebut komite sekolah
yang berfungsi sebagai mengatur anggaran pedidikan yang dibentuk oleh
pemerintah/MBS).
MBS
in Indonesia in reality is more understood as an effort to mobilize funds.
Pada
kenyataanya MBS di Indonesia cenderung dianggap hanya sebuah usaha untuk
mencari keuntungan.
Therefore,
the school committee/ Board of Education which is an organ of the
MBS has always required the element of entrepreneurs.
Karena
komite
sekolah/MBS dibentuk sebagai suatu badan yang bertujuan untuk mengelola
anggaran pendidikan.
The
assumption, entrepreneurs have access to broader capital.
Dari
sinilah muncul anggapan bahwa badan tersebut dibentuk hanyalah untuk ajang
berbisnis.
The
result, after the school committee is formed, sometimes under the guise of all
levy money, “according to school committee’s decision”.
Setelah
komite
sekolah terbentuk timbul pertanyaan tentang transparasi penggunaan
anggaran pendidikan tersebut.
However,
at the implementation level, it is not transparent, because it is elected to
the board and committee members are the ones close to the principal.
Memang
dalam prakteknya penggunaan anggaran pendidikan tersebut tidaklah terbuka
terhadap masyarakat, karena hampir setiap anggotanya pun
memiliki kepentingan pribadi.
As
a result, only the school committee policy legitimator principal, and
MBS was just a disclaimer legitimacy of the state to the problems
of education of its people.
Sehingga, peraturan
dan kebijakan yang dibentuk oleh komite sekolah/MBS dianggap
hanya menambah permasalahan di dunia pendidikan.
This
condition will be worse with the Draft Law on Education Legal Entity (BHP
bill).
Kondisi
ini mungkin akan lebih memprihatinkan lagi dengan adanya Draft
Law on Education Legal Entity (BHP bill/ Badan Hukum Pendidikan/ rancangan
undang-undang yang mengatur kebijakan penggunaan anggaran pendidikan oleh
pemerintah).
Changing
the status of education of the public property to the form of legal entity
has clear economic and political consequences great.
Dengan
adanya sebuah kebijakan baru tersebut maka muncul pertanyaan masyarakat
mengenai pendidikan yang saat ini memang tidak bisa dilepas dari adanya
kepentingan ekonomi dan politik didalamnya.
With
the change of status, the government can easily throw its responsibility for
the education of its citizens to the owners of legal entities that figure is
not clear.
Dengan
kebijakan tersebut, pemerintah memang dapat dengan mudah mengontrol setiap
pergerakan yang dianggap meresahkan.
State
university
was transformed into State Owned Legal Entity (BHMN).
Kini
hampir setiap perguruan tinggi menerapkan sistem State Owned Legal Entity (BHMN/
Badan Hukum Milik Negara).
The
emergence BHMN and MBS are a few examples of the
controversial education policy.
Badan
darurat BHMN dan MBS adalah beberapa contoh
kebijakan yang kontroversial yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam dunia
pendidikan.
BHMN own impact on the soaring costs of education in some universities
favorites.
Oleh
karena itu BHMN hanya dianggap memberikan pengaruh terhadap perubahan
biaya pendidikan yang terasa semakin meningkat terutama pada beberapa perguruan
tinggi unggulan.
Leave a Reply